Image by Daria Shevtsova from Pexels |
Hargai hak dan privasi anak, yuk Mom!
Memposting foto anak di media sosial
atau biasa disebut “sharenting”, kini memang menjadi tren yang banyak dilakukan
para orangtua. Entah karena tidak ingin kehilangan momen berharga, atau sekadar
berbagi keseruan bersama anak mereka. Sayangnya, perilaku ini bisa berdampak
buruk bagi masa depan anak, lho.
Beberapa ahli menyebutkan, memposting foto anak di media sosial bisa melanggar hak privasi anak, memicu timbulnya kejahatan, bahkan bullying terhadap anak di masa dewasanya. Nah, biar sharenting aman buat anak, berikut tips yang bisa dilakukan.
1. Meminta persetujuan anak sebelum posting apapun tentang mereka
Perkembangan teknologi memang memfasilitasi
siapapun untuk berbagi foto atau video secara mudah. Termasuk para orangtua
yang gemar membagikan foto/video anak-anak mereka yang lucu dan menggemaskan.
Namun disadari atau tidak, perilaku sharenting ternyata juga bisa merampas
hak dan privasi anak. Perilaku ini seakan memaksa anak-anak masuk dalam
kehidupan digital yang sama sekali tidak mereka pahami atau bahkan inginkan.
Dr Wayne Warburton, Asosiasi Profesor
psikologi Universitas Macquarie, menyarankan orangtua untuk selalu
mempertimbangkan konten yang akan diposting dan mengajak anak berkomunikasi tentang
dampak jangka panjangnya. Psikologi klinis, Genevieve Von Lob, juga menyarankan
orangtua untuk mulai berpikir dan meminta izin anak-anak sebelum memposting
gambar mereka.
Warburton juga menambahkan bahwa perilaku
anak cenderung mencontoh apa yang dilakukan orangtua. Jika orangtua bijaksana
dan berhati-hati tentang apa yang dipostingnya secara online, anak pun demikian.
Namun jika orangtua mengesampingkan hal ini, bisa saja anak tumbuh dengan kesadaran
akan privasi yang rendah.
2. Memikirkan perasaan anak saat mereka dewasa
Melihat tingkah anak yang lucu nan
menggemaskan, memang sangat menggoda untuk dibagikan di media sosial. Namun,
pernahkah kalian memikirkan bagaimana perasaan anak ketika foto-foto masa
kecilnya, saat ia sedang menangis, marah, atau ganti popok dibagikan online di
jangkauan yang bahkan kita sendiri tidak bisa menjangkaunya?
Tingkah anak-anak yang menghibur saat
kecil, belum tentu juga menghibur bagi dirinya sendiri saat ia dewasa. Oleh
karena itu, penting bagi orangtua untuk selalu mempertimbangkan perasaan anak di
masa depan sebelum sharenting. Apakah
mereka akan merasa malu, cemas, atau jengkel dengan adanya postingan tersebut
di media online?
Dilansir dari forbes, sebaiknya
orangtua perlu berpikir apa manfaat postingan ini bagi kehidupan anak di masa sekarang
dan masa depan. Mengingat jejaring
online yang penuh ketidakpastian, kita sama sekali tidak pernah tahu
konsekuensi dari unggahan tersebut di masa mendatang.
3. Mempertimbangkan jejak digital foto anak di
internet
Ketika memposting foto atau video
anak di media sosial, pernahkah kalian mempertimbangkan jejak digital dari
aktivitas tersebut? Jejak digital adalah jejak yang ditinggalkan di dunia maya
oleh pengguna internet.
Dimana jejak ini bisa diakses oleh
siapa, kapan, dan dimana saja. Termasuk ketika anak sudah memasuki usia dewasa
dan memahami dunia teknologi. Mereka maupun oranglain bisa melacak informasi
tersebut dengan mudah dan leluasa.
Yang perlu dipertimbangkan adalah,
bagaimana jika jejak digital tersebut berdampak pada kehidupan nyata anak di
masa depannya? Bagaimana jika postingan yang dilakukan oleh orangtua tersebut
menyebabkan perilaku diskriminasi atau bullying
terhadap anak? atau bahkan berdampak pada reputasi profesionalnya serta prospek
masa depan lainnya?.
4. Tidak menunjukkan aktivitas harian anak
Sebagian orangtua mungkin menghindari
untuk tidak memposting foto telanjang anak. Namun tidak sedikit dari mereka
yang mengabaikan hal lain yang seharusnya juga dihindari saat berbagi tentang
anak. Seperti foto seragam sekolah, informasi lokasi, maupun rutinitas harian
anak.
Bex Lewis, seorang penulis “Raising
Children In A Digital Age”, juga
menyarankan untuk tidak berbagi foto anak ketika mengenakan seragam sekolahnya.
Selain itu juga sebaiknya menghindari foto yang menunjukkan pola reguler anak setiap
hari. Karena hal ini bisa memicu tindak kejahatan dari informasi yang kita
bagikan di media sosial.
5. Berpikir kritis tentang segala kemungkinan yang mungkin terjadi
Anak tidak pernah memilih untuk
berada di internet atau tidak di usianya yang sangat dini. Namun, tren
sharenting seakan memaksa mereka masuk ke dunia digital yang sangat luas dan
penuh ketidakpastian ini. Sementara kemungkinan bahaya juga selalu berubah
setiap waktu.
Oleh karena itu, sebagai orangtua di
era digital, sebaiknya selalu berpikir kritis dan bijaksana tentang kehidupan
digital saat ini. Profesor Leah Plunkett, dari Universitas New Hampshire juga
menyarankan orangtua untuk sebaiknya tahu lebih baik, bahkan jika kita tidak
tahu apa yang sebenarnya kita lakukan.
Itulah beberapa hal yang sebaiknya
orangtua pertimbangkan sebelum sharenting.
Karena bukan hanya kita sebagai orang dewasa, anak-anak juga memiliki hak dan
privasi yang harus dijaga.
No comments:
Post a Comment